Kekuasaan organisasi selama ini cenderung lebih sering dipahami sebagai sesuatu yang negatif. Terlebih jika dikaitkan dengan aspek kekuasaan dalam politik. Dalam konteks keorganisasian, kekuasaan organisasi dipahami sebagai sarana untuk memudahkan pencapaian tujuan organisasi. Kekuasaan organisasi didefinisikan sebagai kapasitas untuk mengubah perilaku dan sikap pihak lain berkaitan dengan cara yang dikehendaki organisasi. Kekuatan organisasi adalah wewenang yang diberikan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atas dasar kepentingan organisasi (Greenberg & Baron, 1995).
Kekuasaan organisasi mempunyai peran dalam berbagai fungsi seperti; restrukturisasi, alokasi sumber, memantapkan performasi karyawan, membangun standar prosedur, dan strategi usaha. Pemimpin di satu sisi dan bawahan di sisi lain adalah dua pihak yang saling ketergantungan. Pemimpin akan sukses jika mendapat dukungan dari seluruh jajaran organisasi. Bawahan dapat meningkatkan performasinya jika mendapat dukungan dari jajaran organisasi dan pemimpinnya. Organisasi memerlukan seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan untuk mengarahkan perilaku karyawan. Pemimpin dalam hal ini apakah pendiri, pemilik, atau kelompok kecil adalah orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk mengimplementasikan apa yang menjadi tujuan organisasi. Pemmimpin idealnya memiliki konsep pengembangan diri untuk menumbuhkan kesan positif bagi pengikutnya (Poerwanto, 2008).
Pemimpin harus mampu membangun kepercayaan terhadap semua pihak, baik lingkungan internal maupun eksternalnya. Karena implementasinya dari tujuan organisasi termasuk budaya, lekat dengan figur yang dapat menumbuhkan kesan positif dalam manajemen kesan. Manajemen kesan adalah proses dimana seorang pemimpin mengembangkan pemikiran dan tindakan nyata yang diselaraskan dengan tujuan organisasi untuk mempengaruhi perilaku bawahan. Manajemen kesan sebagai proses yang ditempuh individu dalam upaya mengendalikan kesan orang lain mengenai dirinya. Sebagai pengemban kehidupan organisasi, pemimpin harus memiliki visi yang dapat diakomodasikan dengan filosofi organisasi serta perilaku yang dapat menjadi cermin bagi bawahan (Robbins & Hunsaker, 1995).
Visi dan nilai organisasi bagaimanapun juga harus dapat diwujudkan dalam tindakan nyata dan menjadi tanggung jawab pemimpin organisasi. Untuk itu pemimpin perlu wewenang dan mampu mengembangkan pola komunikasi dua arah. Organisasi modern kini telah menerapkan pola komunikasi dua arah dengan memberdayakan seluruh jajaran karyawannya untuk berinisiatif dalam rangka pengembangan usaha. Bahkan di banyak organisasi pemberdayaan karyawan sampai pada tingkat pengambilan keputusan terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Wewenang adalah salah satu bentuk kekuasaan, terutama wewenang formal sebagai kekuasaan sah. Dalam konteks pengelolaan organisasi, wewenang mempunyai pengertian yang luas – mencakup tanggung jawab pemikiran positif, karya dan pengambilan keputusan. Pelaksanan wewenang perlu didukung oleh aspek individual seperti, keahlian, kepribadian, pandangan dan pengembangan diri sebagai penerima wewenang. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat menggunakan kekuasaan dengan benar karena berkaitan dengan tanggung jawab dan pembentukan moral tim dan organisasi. Implementasi budaya membutuhkan dukungan dan keterlibatan aktif dari karyawan di semua tingkatan. Pemimpin dengan wewenangnya harus mampu menjadi figur yang dapat memberi keteladanan dalam berbagai pemikiran dan tindakan yang berkaitan dengan kepentingan organisasi secara menyeluruh. Pemimpin perlu kekuasaan yang digunakan untuk mengarahkan orang dalam mencapai tujuan organisasi (Poerwanto, 2008).
Oleh:
Nicholas Simarmata, M.A.
PUSTAKA
Greenberg, J. & Baron, R.A. (1995). Behavior in Organizations: Understanding and Managing The Human Side of Work. New York: Prentice Hall International.
Poerwanto. (2008). Budaya Perusahaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN: 978-979-1277-90-7.
Robbins, S.P. & Hunsaker, P.I. (1995). Traning in Interpersonal Skills Type for Managing People At Work. New York: Prentice Hall International.