Setiap organisasi memiliki budaya sendiri yang sifatnya spesifik karena kenyataan bahwa setiap organisasi mempunyai kepribadian yang khas (Carrell, Jennings & Heaurin, 1997). Budaya dapat sangat stabil sepanjang waktu, tetapi budaya juga tidak pernah statis. Keluar masuknya anggota utama, asimilasi yang cepat oleh karyawan baru, diversifikasi ke dalam bisnis yang sangat berbeda, dan ekspansi geografis, semua itu dapat memperlemah atau mengubah budaya (Schein, 1992).
Krisis dan keluar masuk anggota yang cukup cepat, sejalan dengan kekurangan mekanisme yang otomatis dapat menghancurkan budaya atau sangat melemahkannya. Budaya dapat tumbuh menjadi sangat kuat apabila terdapat nilai, pola perilaku, praktik bersama, serta bila tingkatan budaya terkait satu sama lain dengan sangat erat. Kontiunitas kepemimpinan, keanggotaan kelompok yang stabil, konsentrasi geografis, ukuran kelompok yang kecil, dan keberhasilan yang berarti semuanya berperan pada munculnya budaya yang kuat (Uha, 2013).
Budaya yang kuat didukung oleh faktor kepemimpinan, arahan, iklim, kerja tim yang positif, sistem nilai tambah, pemungkinan struktur, kompetensi yang pas, dan individu yang berkembang. Diantara faktor pendukung tersebut ternyata faktor kepemimpinan sangat menonjol. Dalam arti bahwa komitmen, kesungguhan tekad dari pemimpin terutama pimpinan puncak organisasi merupakan faktor utama dan sangat mendukung terlaksananya budaya di organisasi (Jusi, 2001). Menurut McKinsey & Company (Peters & Waterman, 1982), ada tujuh variabel yang berpengaruh terhadap kesuksesan organisasi yang terangkum dalam 7-S McKinsey. Ketujuh variabel tersebut antara lain strategy dan structure sebagai “perangkat keras” organisasi serta system, style, staff, skill, dan shared value sebagai “perangkat lunak” organisasi.
Dalam budaya organisasi yang kuat, hampir semua manajer menganut seperangkat nilai dan metode menjalankan bisnis yang relatif konsisten. Atas dasar keadaan tersebut maka karyawan baru dapat mengadopsi nilai ini dengan sangat cepat. Apabila kesadaran budaya telah sedemikaian mendalam maka dapat terjadi seorang eksekutif baru akan dapat dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh atasannya, jika melanggar norma organisasi. Organisasi dengan budaya yang kuat biasanya dinilai dan dirasakan pihak lain telah memiliki gaya tertentu. Organisasi sering menjadikan nilai yang dianut bersama itu semacam kredo atau pernyataan yang secara serius mendorong manajer untuk mengikuti pernyataan tersebut. Gaya dan nilai dari budaya yang kuat cenderung tidak banyak berubah walaupun ada pergantian CEO karena akar-akarnya sudah mendalam. Logika tentang cara kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja meliputi tiga gagasan (Kotler dan Hessket, 1992): (1) Penyatuan tujuan. Dalam sebuah organisasi dengan budaya yang kuat maka karyawan cenderung kompak; (2) Budaya yang kuat sering dikatakan membantu kinerja karena menciptakan tingkatan yang luar biasa dalam diri karyawan; dan (3) Budaya yang kuat membantu kinerja karena memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang kaku yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Keyakinan bahwa budaya yang kuat dan khas sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu organisasi diketemukan secara umum bahwa organisasi yang sukses mempunyai budaya yang kuat sekaligus khas termasuk mitos yang memperkuat sub budaya organisasi. Pengamatan para ahli dan pengalaman banyak praktisi manajemen menunjukkan bahwa: (1) Dalam organisasi yang memiliki budaya kuat maka perilaku anggotanya dibatasi oleh kesepakatan bersama dan bukan karena perintah atau karena ketentuan formal (Siagian, 1995); (2) Dampak budaya yang kuat terhadap perilaku anggotanya tampaknya besar dan telah berkaitan langsung dengan menurunnya keinginan karyawan yang pindah berkarya di organisasi lain; dan (3) Budaya yang kuat berarti akan makin banyak anggota organisasi yang menerima keterikatannya pada norma dan sistem nilai organisasional yang berlaku serta makin meningkat pula komitmen mereka terhadap keberhasilan penerapan norma dan sistem nilai tersebut.
Dalam pembentukan budaya yang di dalamnya terjadi perubahan atas budaya yang ada bahwa untuk hal yang menyangkut simbol dan kegiatan, dan kebiasaan yang sederhana akan lebih mudah penyesuaiannya (Jusi, 2001). Pengertian dasar ini sangat perlu dipahami apabila organisasi ingin menyosialisasikan budaya organisasi yang baru. Ada 3 tingkatan dalam budaya. Ketiga tingkatan ini membentuk pengertian dasar mengenai budaya organisasi. Ketiga tingkatan tersebut yaitu (Schein, 1992): (1) Artefak adalah hal yang dilihat, didengar, dan dirasakan jika seseorang berhubungan dengan kelompok baru dengan budaya yang tidak dikenalnya. Artefak termasuk produk, jasa, dan bahkan tingkah laku anggota kelompok; (2) Nilai yang didukung merupakan alasan tentang mengapa orang berkorban demi apa yang dikerjakan. Budaya sebagian besar organisasi dapat melacak nilai yang didukung kembali ke penemu budaya; dan (3) Asumsi yang mendasari adalah keyakinan yang dianggap sudah ada oleh anggota organisasi. Budaya untuk menetapkan cara yang tepat dalam melaksanakan sesuatu di oganisasi, sering kali melalui asumsi yang tidak diucapkan.
Oleh:
Nicholas Simarmata, M.A.
Pustaka
Carrell, M.R., Jennings, D.F., & Heaurin, C. (1997). Fundamentals of Organizational Behavior. New Jersey: Prentice-Hall, Upper Saddle River.
Jusi. (2001). Budaya Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kotler, J. & Heskett, J.L. (1992). Corporate Culture and Performance. New York: Free Press.
Peters, T.J. & Waterman, R.H. (1982). In Search Excellence. New York: Harper & Row.
Schein, E.H. (1992). Organizational Culture and Leadership. San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers.
Siagian, S.P. (1995). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. ISBN 9789795261001.
Uha, I.N. (2013). budaya Organisasi Kepemimpinan dan Kinerja: Proses Terbentuk, Tumbuh Kembang, Dinamika, dan Kinerja Organisasi. Jakarta: Kencana. ISBN 978-602-7985-33-9.