ELEMEN BUDAYA ORGANISASI

Dalam pemahaman budaya organisasi secara rinci diperlukan pengetahuan tentang elemen internal budaya organisasi. Elemen budaya organisasi meliputi (Uha, 2013):

  1. Lingkungan Organisasi

Lingkungan usaha merupakan salah satu elemen yang berpengaruh cukup kuat dalam pembentukan budaya organisasi (Susanto, 1997). Menurut Caldwell (1970), lingkungan usaha adalah keseluruhan yang mengitari termasuk yang diitari yaitu manusia yang bersangkutan. Edmund & Letey (1973) melihat lingkungan merupakan organisme hidup sebagai sebuah sistem yaitu ekosistem. Proses interaksi antara organisme dan lingkungannya di dalam suatu ekosistem menurut Sthahrl Edmunds dan John Letey terdiri dari empat aliran yaitu (1) siklus pendukung kehidupan, (2) penyebaran atau distribusi spesies (termasuk manusia) dan lingkungan, (3) dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan dan (4) pelestarian lingkungan.

Lingkungan berfungsi sebagai Sumber Daya (SD) yang dapat dibedakan menjadi: (1) lingkungan alam yang berfungsi sebagai Sumber Daya Alam (SDM). Daya dukung SD semakin merosot mendekati nol atau semakin terbatas; (2) Sumber Daya Manusia (SDM). Di negara berkembang, SDM sangat bergantung pada SDA namun pada negara maju yan terjadi adalah yang sebaliknya; (3) Lingkungan buatan yang berfungsi sebagai Sumber Daya Buatan (SDB). Negara berkembang membentuk SDB dengan susah payah, sedangkan pada negara maju justru SDB seolah-olah sudah dapat mengembangkan diri sendiri. Yang lebih penting lagi adalah kebudayaan sangat dipengaruhi oleh SDB.

Organisasi yang ingin sukses sangat tergantung pada kemampuan dalam menjual produk yang bersifat hanya digunakan oleh konsumen tertentu. Organisasi tersebut cenderung akan mengembangkan satu jenis budaya tersendiri. Budaya seperti itu dikenal dengan istilah budaya kerja keras yang ditujukan bagi kekuatan menjual.

  1. Sistem Nilai

Menurut Danandjaja (1986), nilai adalah pengertian yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar. Ia selanjutnya membuat kategori: (1) yang penting yaitu pilihan berdasarkan pertimbangan kebutuhan, (2) yang baik yaitu pilihan berdasarkan pertimbangan moral atau kesadaran etik, dan (3) yang benar yaitu pilihan berdasarkan pertimbangan logika.

Sistem nilai objektif dijadikan dasar bagi penyusunan sistem nilai normatif sebagai bahan pembentukan etika dan moral. Kombinasi dari berbagai kategori nilai pada skala membentuk sistem nilai. Ada sistem nilai subjektif dan ada pula sistem nilai objektif. Sehingga sistem nilai itu adalah yang penting (nilai-guna), yang baik (nilai etik atau moral), dan yang benar (nilai-fakta).

Soebijatna (1988) menyatakan bahwa nilai hanya dapat dipahami jika dikaitkan dengan sikap dan tingkah laku dalam seuah model metodologis:

Nilai → sikap → tingkah laku

Susanto (1997) menyatakan bahwa elemen nilai merupakan konsep dasar dan kepercayaan dari organisasi. Nilai menitikberatkan pada keyakinan untuk mencapai kesuksesan. Hal itu menjadi standar pencapaian prestasi di dalam organisasi. Supaya nilai itu dapat mendorong karyawan mencapai hasil kerja yang baik maka keyakinan itu harus disampaikan secara oleh key executive atau manajer kepada seluruh lapisan sumber daya manusia yang ada. Dalam pelaksanaannya, manajer tidak akan memberikan toleransi terhadap penyimpangan dari standar yang telah ditetapkan organisasi.

Di dalam masyarakat industri yang telah maju, “keuntungan setinggi-tingginya” yang telah lama dianggap sebagai nilai utama organisasi, kini mulai dipertanyakan kredibilitasnya sebagai nilai utama yang mengatur sistem sosial dan ekonomi di dalam masyarakat. Galbraith (1972) telah mensinyalir bahwa selama ini tekno struktur telah dipaksa untuk menjadikan “keuntungan” sebagai tujuan satu-satunya. Padahal otonomi atau kebebasan (kebebasan untuk menentukan harga, mengorganisasi permintaan produk, mengatur dan menjamin kelancaran suplai) dan kegiatan bisnis lainnya tidak hanya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, tetapi juga untuk secara “bersama-sama memelihara, mengendalikan, dan mengembangkan organisasi.

Sistem nilai yang kuat terlihat memiliki arah dan tujuan hidup. Perilaku pemilik sistem nilai tersebut mudah dipahami orang lain karena merasuk ke dalam tindakannya. Kejujuran, kesetiaan, keadilan, dan usaha maksimum merupakan bagian dari sistem nilai yang dianut orang dalam kehidupan. Deal & Kennedy (1982) menyatakan organisasi dengan budaya organisasi yang kuat mencerminkan sistem nilai budaya di tingkat organisasi. Organisasi tersebut berdiri tegak demi sesuatu. Nilai disimbolisasikan dalam slogan organisasi. Sistem nilai didukung oleh tindakan di semua tingkat organisasi dan tidak hanya menjadi slogan kosong. Sistem nilai berkembang selama bertahun-tahun melalui pengujian, apa yang berhasil, dan apa yang tidak berhasil dalam lingkungan ekonomi.

Nilai membedakan suatu masyarakat dari masyarakat lainnya bahkan di dalam suatu masyarakat pun terdapat berbagai nilai yang berbeda satu sama lain. Sub kultur pihak manajemen dan pihak buruh yang berbeda, mungkin kadangkala akan membentuk kerja sama yang produktif atau mungkin salah satu piha, akan menjadi parasit bagi pihak lain (Parker, Brown, Child & Smith, 1992)

Sikap adalah determinan perilaku sebab sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian, dan motivasi. Sikap adalah perasaan positif atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari, dan diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada respons seseorang terhadap orang, objek dan keadaan (Gibson, Ivancevich & Donnelly, 1996). Implikasinya terhadap budaya organisasi yaitu (1) sikap dapat dipelajari, (2) sikap mendefinisikan predisposisi terhadap aspek yang diberikan dunia, (3) sikap memberikan dasar perasaan bagi hubungan antar pribadi dan identifikasi dengan orang lain, dan (4) sikap diatur dan dekat dengan inti kepribadian.

  1. Kepahlawanan

Elemen kepahlawanan sering dimanfaatkan untuk mengajak seluruh sumber daya manusia mengikuti nilai budaya yang dilakuan oleh orang tertentu yang ditunjuk organisasi sebagai tokoh panutan. Budaya yang kuat dapat terjadi pada organisasi yang memiliki orang yang dapat dijadikan panutan bagi seluruh sumber daya manusia yang ada (Susanto, 1997). Susanto (1997) menyatakan apabila organisasi ingin membentuk orang yang dapat dijadikan tokoh panutan, seseorang itu tidak mutlak harus memiliki karisma. Yang penting harus lebih merata ke dalam bidang yang cukup kuat di dalam organisasi, misalnya: jajaran dewan direksi, pemasaran, produksi, personalia. Apabila sumber daya manusia yang andal tersebar di seluruh organisasi maka dapat mendorong dalam meningkatkan prestasi kerja sesuai dengan orang yang menjadi panutan di bagian tersebut.

  1. Upacara

Dalam kegiatan usaha, setiap organisasi selalu melakukan upacara tertentu, misalnya: menyerahkan penghargaan bagi karyawan yang berprestasi setiap setahun sekali, upacara ulang tahun organisasi, upacara penyerahan uang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), upacara peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia, upacara kunjungan pejabat pemerintah maupun pejabat organisasi lain, baik dari dalam maupun luar negeri, yang dilakukan secara rutin sehingga dapat menjadi elemen budaya tersendiri bagi organisasi.

Menurut Susanto (1997), kegiatan yang bersifat ritual tersebut tidak harus dilakukan secara besar-besaran, kadang dilakukan secara sederhana saja. Tetapi yang menjadi ukuran kekuatan budaya tersebut adalah frekuensi atau rutinitas acara tersebut dilakukan. Dengan seringnya frekuensi kegiatan ritual tersebut dilakukan maka akan mengajak seluruh karyawan untuk melakukan budaya tersebut baik disadari maupun tidak disadari. Elemen budaya seperti itulah yang akan memengaruhi pembentukan budaya organisasi sampai dilakukannya pengimplementasian budaya tersebut.

Banyak bentuk ritual mendramatisasi nilai kultural dasar organisasi dan ritual seperti inilah yang menjadi media ekspresi nilai kultural. Organisasi yang berkultur kuat mencari alasan untuk merayakan, menghargai, dan menyimbolkan perilaku yang selaras dengan kultur. Penyediaan waktu untuk kegiatan simbolis dalam organisasi memberi kontribusi terhadap rencana dan anggaran yang lebih baik. Manajer sebaiknya menaruh perhatian besar terhadap pemanfaatan di luar jam kerja melalui fasilitas olah raga, meditasi, dan pesta karena kegiatan itu menyatukan karyawan, mengurangi konflik, dan sering kali menciptakan lingkungan yang mendukung pemikiran kreatif.

Deal & Kennedy (1982) menyatakan bahwa ritual yang lazim dan penting bagi manajer adalah rapat formal. Bentuk rapat ini ditentukan oleh kultur. Tidak ada gaya rapat yang paling baik karena rapat dapat memenuhi banyak tujuan. Rapat dapat diselenggarakan untuk merayakan sukses atau memberikan kesempatan untuk debat. Ada kalanya rapat tidak menghasilkan keputusan apapun tetapi lebih merupakan ajang untuk mengingat sistem nilai.

  1. Jaringan Kultural

Elemen ini secara informal dapat dikatakan sebagai jaringan komunikasi di dalam organisasi yang dapat dijadikan sebagai “pembawa atau penyebaran” nilai budaya organisasi. Efektivitas jaringan ini hanya sebagai cara untuk mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi di dalam organisasi, atau tidak tertutup kemungkinan yang terjadi di luar organisasi. Bentuk jaringan kultural ini bersifat informal (Susanto, 1997).

Deal & Kennedy (1982) menyatakan bahwa penelitian terhadap komunikasi organisasi mengungkapkan banyaknya arus memo, notulen rapat, buklet yang menguraikan kebijakan, papan buletin, dan dokumen perencanaan. Media ini digunakan untuk menyampaikan informasi resmi kepada karyawan. Kegiatan komunikasi yang benar-benar penting terjadi secara informal sebelum dan sesudah rapat terstruktur atau memo yang disusun secara cermat. Manajer yang berkultur kuat perlu melangkah lebih jauh daripada sekedar pernyataan kebijakan dan analisis statistik dalam mengukuhkan nilai organisasi. Berbagai jaringan komunikasi dapat dibangun diantaranya melalui storyteller dan pemuka agama (formal) serta “tukang” kasak-kusuk dan gosip (informal). Storyteller menyampaikan pesan kultural dari organisasi melalui penafsiran tentang tokoh organisasi legendaris kepada karyawan. Pemuka agama dalam jaringan kultural berfungsi sebagai pengingat bagi organisasi dan pengawal nilai budaya serta membantu memecahkan dilema khususnya yang menyangkut etika. “Tukang” kasak-kusuk dan gosip bukan orang dengan pengetahuan luas tetapi mempunyai posisi yang kuat dan sebagai “telinga” atasan. Oknum ini membina kontak di seluruh organisasi dan tahu ke mana harus mencari informasi. “Tukang” gosip menyebarkan berita, membumbui cerita, dan menciptakan pahlawan sehingga membantu menyebarluaskan nilai kultural ke seluruh organisasi dengan memanfaatkan ruang makan, kamar kecil, dan lapangan olahraga.

Adapun penggolongan lain dari budaya organisasi dimana di dalamnya mempunyai 4 elemen utama yang wujud pada tahap kesadaran yang berbeda. Tahap-tahap ini adalah ditunjukkan melalui (Ernawan, 2011):

  1. 1. Asumsi Dasar

Merupakan tahap kesadaran budaya yang paling dasar dan tidak disadari. Fenomena dan tanggapan mengenai bagaimana sesuatu masalah yang terlihat dalam organisasi seharusnya diselesaikan. Tanggapan ini akan memberikan panduan kepada individu yang terlibat mengenai bagaimana sesuatu isu atau permasalahan itu dilihat, dipikirkan dan ditangani. Segala tanggapan yang berwujud adalah diterima dan ia tidak lagi perlu dipersoalkan.

  1. 2. Nilai

Nilai merupakan apa yang sepatutnya ada dan diamalkan oleh semua individu pada organisasi. Nilai yang nampak akan memberitahu kita apa yang penting dalam organisasi dan apa yang perlu diberikan perhatian. Sekiranya nilai organisasi adalah memberikan dampak kepada pelanggan maka sewajarnya setiap individu dalam organisasi memberikan perhatian kepada pelanggan dan bagaimana karyawan dalam organisasi dapat menyediakan dan memberikan manfaat yang baik kepada pelanggan.

  1. 3. Norma

Norma memberikan panduan kepada individu yang terlibat untuk tahu bagaimana harus bertindak terhadap sesuatu situasi. Ia juga meliputi segala peraturan yang tidak bertulis yang terkait dengan perlakuan yang sewajarnya dalam organisasi. Individu yang senantiasa peka terhadap kepuasan pelanggan merupakan norma yang perlu diwujudkan dalam organisasi yang berorientasikan pelanggan.

  1. 4. Artefak

Artefak adalah hasil manifestasi dari karakteristik budaya yang nyata. Di dalamnya terdapat tingkah laku, struktur, sistem, prosedur, peraturan, dan aspek fisik yang ada dalam organisasi. Bagaimana organisasi dapat melayani masyarakat yang berkepentingan dengannya secara penuh merupakan cerminan dari organisasi yang mengutamakan keinginan pelanggan.

 

Oleh:

Nicholas Simarmata

Pustaka

Caldwell, L.K. (1970). Environment: A challenge for modern Society. New York: The American Museum of Natural History Press.

Danandjaja, A.A. (1986). Sistem Nilai Manajer Indonesia. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.

Deal, T.E. & Kennedy, A.A. (1982). Corporate Culture: Rites and Ritual of Corporate Life. Reading, MA: Addison-Westey.

Edmund, S. & Letey, J. (1973). Environment Administration. New York: McGraw Hill Book Co.

Ernawan, E.R. (2011). Organizational culture: Budaya organisasi dalam perspektif ekonomi dan bisnis. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Galbraith, J.K. (1972). The New Industrial State. Harmondsword: Penguin books.

Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., & Donnelly, J.H. (1996). Organisasi Perilaku struktur Proses Jakarta: Binarupa Aksara.

Parker, S.R., Brown, R.K., Child, J. & Smith, M.A. (1992). The Sociology of Industry. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Soebijatna, J.M. (1988). Nilai, Pelimpahan Nilai, dan Penjernihan Niai. Atma Nan Jaya, Desember. Jakarta: UAJ.

Susanto, A.B. (1997). Budaya Perusahaan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Uha, I.N. (2013). Budaya Organisasi Kepemimpinan dan Kinerja: Proses Terbentuk, Tumbuh Kembang, Dinamika, dan Kinerja Organisasi. Jakarta: Kencana. ISBN 978-602-7985-33-9.

Related Blog

Leave a CommentYour email address will not be published.