Pengimplementasian proses penerapan Balance Scorecard melalui beberapa tahap berikut (Kaplan & Norton, 1996, 2008; Lingle & Schiemann, 1996; Hermawan, 1996; Carton & Hofer, 2006): (1) Menjabarkan strategi dari usaha ke dalam tujuan strategis yang lebih spesifik oleh tim manajemen eksekutif senior, (2) Menetapkan tujuan keuangan organisasi dengan mempertimbangkan apakah organisasi akan menekankan pertumbuhan pendapatan dan pasar, profitabilitas, atau menghasilkan arus kas, (3) Tim manajemen secara eksplisit menyatakan segmen pasar dan pelanggan yang diputuskan untuk dilayani, (4) Mengidentifikasi tujuan dan pengukuran proses bisnis internal yang tidak hanya menggunakan indikator ukuran keuangan seperti perbaikan biaya, kualitas, dan waktu siklus produksi dengan proses yang berjalan, (5) Mencari metode baru yang memberikan kinerja lebih baik, (6) Menetapkan tujuan proses pembelajaran dan pertumbuhan yang mengungkapkan pemikiran untuk melakukan investasi yang berarti dalam meningkatkan keterampilan pegawai, sistem dan teknologi informasi serta dalam mengingkatkan prosedur organisasional, dan (7) Meramalkan target tahunan yang harus dicapai agar dapat mencapai target jangka panjang. Dengan demikian anggaran organisasi akan mencerminkan rencana organisasi yang sudah sesuai dengan strategi organisasi.
Melalui pengukuran kinerja berdasarkan pendekatan Balance Scorecard, organisasi didorong untuk tidak hanya memberikan perhatian pada proses yang ada tetapi berusaha mencari metode proses baru yang memberikan kinerja lebih baik bagi pelanggan dan pemegang saham untuk strategi yang ditetapkan. Keterkaitan terakhir adalah pada tujuan proses pembelajaran dan pertumbuhan organisasi, yang mengungkapkan pemikiran untuk melakukan investasi yang signifikan dalam meningkatkan keterampilan pegawai, dalam sistem dan teknologi informasi serta dalam meningkatkan prosedur organisasional. Investasi tersebut akan menghasilkan inovasi utama dan perbaikan dalam proses bisnis internal, pelanggan dan akhirnya pemegang saham. Dalam pengukuran keberhasilan kinerja organisasi berdasarkan pendekatan balanced scorecard dibagi menjadi empat perspektif (Kaplan & Norton, 1996; Lingle & Sciemann, 1996; Brandon & Drtina, 1997) yaitu:
(1) Perspektif Keuangan. Perspektif keuangan dalam balanced scorecard tetap menjadi perhatian karena ukuran keuangan merupakan ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang disebabkan oleh keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil. Pengukuran kinerja keuangan menunjukkan perencanaan, implementasi dan pelaksanaan dari strategi yang dapat memberikan perbaikan mendasar. Perbaikan ini tercermin dalam sasaran yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur, baik berbentuk Gross Operating Income, Return On Investment (ROI) atau Economic Value Added (EVA).
(a) Tahapan siklus organisasi yang pertama adalah pertumbuhan. Pertumbuhan merupakan langkah awal dari siklus kehidupan bisnis. Pada tahap ini suatu organisasi memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki tingkat pertumbuhan yang baik sekali atau paling tidak memiliki potensi untuk berkembang dengan baik. Organisasi dalam tahap pertumbuhan mungkin secara aktual beroperasi dengan cash flow yang negatif dan tingkat pengembalian atas modal yang rendah. Investasi yang ditanamkan untuk kepentingan masa depan sangat mungkin memakan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah dana yang mampu dihasilkan dari bisnis operasi yang ada sekarang, karena produk, jasa dan konsumen yang masih terbatas. Sasaran keuangan dari bisnis yang berbeda pada tahap ini seharusnya menekankan pengukuran pada tingkat pertumbuhan revenue atau penjualan dalam pasar yang telah ditargetkan. (b) Tahapan siklus organisasi yang kedua adalah masa bertahan. Bertahan adalah tahap dimana organisasi masih melakukan investasi dan re-investasi berusaha mempertahankan pangsa pasar yang ada dan mengembangkannya apabila memungkinkan. Investasi yang dilakukan diarahkan untuk menghilangkan kemacetan operasi, mengembangkan kapasitas, dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Organisasi tidak lagi bertumpu pada strategi jangka panjang. Sasaran keuangan pada tahap ini lebih diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan.
(c) Tahapan ketiga siklus organisasi adalah kematangan. Kematangan yaitu tahap dimana organisasi melakukan “panen” terhadap investasi yang dilakukan. Organisasi tidak lagi melakukan investasi lebih jauh kecuali hanya untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Tujuan utama dalam tahap ini adalah memaksimalkan arus kas yang masuk ke organisasi.
Tentunya kebijakan keuangan pada ketiga tahap tersebut akan berbeda-beda. Sasaran keuangan untuk tahap pertumbuhan akan menekankan pada pertumbuhan penjualan di dalam pasar baru dari konsumen baru dan atau produk dan jasa baru. Sasaran dalam tahap bertahan lebih menekankan pada pengukuran seperti Return On Investment (ROI), atau Economic Value Added (EVA). Semua ukuran ini menggambarkan sasaran keuangan untuk memperoleh tingkat pengembalian terbaik atas modal yang ditanamkan dalam bisnis. Sasaran keuangan untuk tahap kematangan adalah cashflow. Pengukuran keuangan seperti ROI dan EVA kurang relevan digunakan pada tahap ini karena investasi utama telah dilakukan. Sasaran pengukuran pada tahap ini bukan lagi ROI maksimum tapi pada cashflow maksimum yang mampu dikembalikan dari investasi dimasa lalu. Manajemen keuangan yang efektif harus mempertimbangkan risiko dan tingkat pengembalian. Sasaran yang berhubungan dengan pertumbuhan dan tingkat keuntungan dan cashflow, idealnya menekankan pada perbaikan tingkat pengembalian investasi. Organisasi menyeimbangkan tingkat pengembalian risiko. Organisasi memasukkan sasaran pengukuran dalam perspektif keuangan harus mempertimbangkan dimensi risiko dari strategi yang ditetapkan organisasi.
(2) Perspektif Pelanggan. Penilaian kinerja yang kedua dari balanced scorecard adalah pelanggan. Kinerja ini dianggap penting karena semakin ketatnya persaingan mempertahankan pelanggan lama dan merebut pelanggan baru. Sebelum tolok ukur kinerja pelanggan ditetapkan, Kaplan dan Norton (1996) menyarankan agar organisasi menetapkan terlebih dahulu menentukan segmen (calon) pelanggan yang berada dalam segmen tersebut, sehingga tolok ukurnya dapat lebih terfokus. Fokus strategi organisasi telah bergeser dari internal ke eksternal (dari produksi ke pemasaran). Apabila unit bisnis ingin mencapai kinerja keuangan yang superior dalam jangka panjang maka mereka harus menciptakan dan menyajikan produk atau jasa yang bernilai lebih tinggi bagi konsumen mereka. Produk atau jasa dikatakan bernilai apabila manfaat yang diterima dari produk atau jasa secara relatif lebih tinggi dari biaya perolehannya. Produk akan semakin bernilai apabila kinerjanya semakin mendekati atau bahkan melebihi dari yang diharapkan oleh konsumen.
Kinerja pelanggan dalam organisasi saling berinteraksi (Kaplan & Norton, 1996). Perlu untuk mengidentifikasi segmen pasar dimana organisasi akan berkompetisi dan ukuran unit bisnisnya target yang telah ditetapkan. Tolok ukur kinerja pelanggan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama disebut sebagai kelompok inti. Kelompok ini mempunyai lima tolok ukur yang pada dasarnya merupakan pengukur hasil akhir yang saling terkait yang terdiri dari; pangsa pasar, tingkat perolehan pelanggan, kemampuan mempertahankan pelanggan lama, tingkat kepuasan pelanggan, dan tingkat profitabilitas pelanggan. Kelompok kedua adalah proposisi nilai pelanggan yang menggambarkan pemicu kinerja. Hal ini berhubungan dengan penyajian organisasi dalam mencapai tingkat kepuasan, loyalitas, retensi dan akuisisi konsumen yang tinggi. Product atau service meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga dan kualitasnya. Dalam hal ini, preferensi konsumen bisa berbeda-beda. Ada konsumen yang mengutamakan fungsi produk, penyampaian yang tepat waktu, dan harga yang murah. Namun ada pula konsumen yang mau membayar pada tingkat harga yang tinggi (premium) untuk ciri dan atribut dari produk atau jasa yang dibelinya. Relasi pelanggan menyangkut perasaan pelanggan terhadap proses pembelian. Perasaan ini dapat dipengaruhi oleh tingkat responsibilitas dan komitmen organisasi terhadap pelanggan. Atribut terakhir dari proposisi nilai adalah citra dan reputasi dengan organisasi. Membangun reputasi dan citra dapat dilakukan melalui iklan serta menjaga kualitas seperti yang dijanjikan (Ernawan, 2011).
(3) Perspektif Proses Bisnis Internal. Penilaian kinerja balanced scorecard yang ketiga adalah bisnis internal. Agar dapat menentukan tolok ukur kinerja ini, manajemen organisasi pertama-tama perlu mengidentifikasi proses internal yang terdapat di dalam organisasi. Proses tersebut secara umum terdiri dari tiga tahapan, yaitu: Inovasi, operasi dan layanan purna jual. Pada tahapan inovasi, organisasi perlu mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan pelanggan (baik para pelanggan yang sekarang dimiliki maupun para pelanggan potensial) di masa kini dan masa mendatang serta merumuskan cara untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan tersebut. Tahapan inovasi dapat disebut pula sebagai tahapan penelitian dan pengembangan (litbang) produk karena mayoritas inovasi berada pada fungsi litbang organisasi.
(4) Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran. Pada proses belajar dan perkembangan organisasi bersumber dari tiga prinsip, yaitu: orang, sistem, dan prosedur organisasional. Perspektif keuangan, pelanggan, dan sasaran dari proses bisnis internal dapat mengungkapkan kesenjangan antara kemampuan orang, sistem, dan prosedur dengan kebutuhan dalam mencapai kinerja yang handal. Untuk memperkecil kesenjangan tersebut, organisasi harus melakukan investasi dalam pembentukan ulang keterampilan karyawan, meningkatkan sistem dan teknologi informasi, serta meluruskan prosedur dan perbaikan rutinitas. Balanced scorecard menekankan pentingnya investasi untuk kepentingan masa depan. Dalam proses belajar dan berkembang, ada tiga faktor yang harus diperhatikan yaitu: kemampuan pekerja, kemampuan sistem informasi, motivasi-pemberdayaan dan penyejajaran. Kaplan dan Norton (1996) merincikan perspektif “pembelajaran dan pertumbuhan” organisasi yaitu:
(a) Kemampuan Pekerja. Sehubungan dengan pekerjaan rutin yang relatif sudah terotomatisasi dimana mesin sudah menggantikan pekerjaan rutin manusia untuk pemrosesan dan perakitan maka layanan organisasi dapat lebih diarahkan pada pemberian akses informasi yang lebih layak kepada pelanggan untuk meningkatkan efisiensi. Perubahan ini memerlukan pembentukan ulang keterampilan karyawan sehingga pemikiran dan kemampuan kreatif mereka dapat dimobilisasi untuk pencapaian tujuan organisasi. Kondisi ini dapat ditinjau dari tingkat kepuasan pekerja, tingkat perputaran tenaga kerja, besarnya pendapatan organisasi per karyawan, dan nilai tambah dari tiap karyawan.
(b) Kemampuan Sistem Informasi. Motivasi dan keterampilan dan karyawan adalah penting untuk pencapaian tujuan bisnis internal dan kepuasan pelanggan. Karyawan yang berada dalam lingkungan kompetitif memerlukan informasi yang handal tentang berbagai hal, misalnya: pelanggan, proses internal dan konsekuensi finansial dari keputusan yang diambil. Keberhasilan kondisi ini antara lain dapat ditinjau dari tingkat ketersediaan informasi, tingkat ketepatan informasi dan jangka waktu untuk memperoleh informasi.
(c) Motivasi, Pemberdayaan dan Penyejajaran. Walaupun karyawan yang terampil memiliki akses yang baik terhadap informasi, hal itu belum cukup untuk memberikan kontribusi kepada keberhasilan organisasi jika mereka tidak dimotivasi untuk bertindak sebaik mungkin demi kepentingan organisasi. Upaya memotivasi ini antara lain diawali dengan terciptanya iklim organisasi yang merdeka sehingga mendorong tumbuhnya motivasi dan inisiatif karyawan. Keberhasilan aspek ini antara lain diukur melalui jumlah saran pegawai, jumlah saran yang diimplementasikan, jumlah saran yang berhasil guna, dan banyaknya pegawai yang mengetahui dan mengerti visi serta tujuan organisasi.
Apabila dikaitkan dengan pekerja, ada tiga hal yang perlu ditinjau oleh manajemen, yaitu kepuasan pekerja, retensi dan kepuasan pekerja. Kepuasan pekerja merupakan prakondisi dari tingkat produktivitas, tanggungjawab, kualitas, dan layanan pelanggan. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pekerja organisasi perlu melakukan survei secara reguler. Beberapa elemen kepuasan karyawan adalah: (1) Keterlibatan dalam pengambilan keputusan, (2) Pengakuan, (3) Akses untuk memperoleh informasi, (4) Dorongan aktif untuk melakukan kreativitas dan inisiatif, dan (5) Dukungan atasan.
Retensi karyawan adalah kemampuan organisasi mempertahankan karyawan terbaiknya untuk terus berada dalam organisasi. Organisasi yang telah melakukan investasi sumber daya manusia akan sia-sia apabila tidak dapat mempertahankan karyawan. Produktivitas karyawan merupakan hasil dari pengaruh agregat peningkatan keahlian dan moral, inovasi, perbaikan proses internal, dan tingkat kepuasan konsumen. Tujuan produktivitas karyawan adalah menghubungkan output yang dihasilkan para pekerja terhadap jumlah keseluruhan karyawan.
Dalam era sebelumnya, proses umpan balik manajemen dalam implementasi strategi merupakan “single loop process”. Tujuan yang ingin dicapai dianggap konstan. Penyimpangan yang terjadi dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan diambil tindakan untuk membawa organisasi kembali kepada tujuan semula. Dalam lingkungan usaha yang turbulen seperti saat ini, manajer senior perlu menerima umpan balik mengenai strategi yang lebih kompleks. Strategi yang mula-mula ditetapkan walaupun telah disusun dengan informasi terbaik yang ada pada saat itu dan dengan maksud yang baik adanya, kadang-kadang tidak cocok lagi dengan kondisi yang berlaku. Dalam situasi lingkungan yang selalu berubah strategi baru mungkin akan muncul dalam rangka pemanfaatan kesempatan untuk menghadapi ancaman yang tidak diantisipasikan pada waktu strategi awal disusun. Usulan untuk memanfaatkan kesempatan baru biasanya datang dari manajer tingkat bawah dalam organisasi. Sistem manajemen tradisional yang menggunakan proses “single loop” belum memberikan fasilitas untuk mendorong perumusan strategi dan implementasi strategi baru dalam lingkungan yang berubah. Dalam proses “double loop”, manajer selain melihat apakah pelaksanaan sudah sesuai dengan strategi, juga menguji apakah asumsi yang melandasi strategi tersebut masih sesuai, sehingga strategi tersebut masih dapat berlaku dengan efektif.
Untuk menciptakan potensi ini, kemungkinan manajer harus terikat komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta mengasuh dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan (Ernawan, 2011).
Oleh:
Nicholas Simarmata
PUSTAKA
Brandon, C.H. & Drtina, R.E. (1997). Management Accounting: Strategy And Control. The McGraw-Hill Companies Inc. ISBN: 9780071140768.
Carton, R.B. & Hofer, C.W. (2006). Measuring Organizational Performance. USA-Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
Ernawan, E.R. (2011). Organizational culture: Budaya organisasi dalam perspektif ekonomi dan bisnis. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Hermawan. A. (1996). Balanced Scorecard sebagai sarana akuntansi manajemen strategic. Makalah prakonvensi nasional akuntansi ke-3 pendidikan profesi berkelanjutan (PPL), IAI, Semarang.
Kaplan, R.S. & Norton, D.P. (1996). Translating Strategy into Action the Balance Scorecard. Boston: Harvard Business School.
Lingle, J.H. & Schiemann, W.A. (1996). From Balance Scorecard to Strategic Gauges: Is Measurement Worth It? Management Review. Volume 85. Nomor 3.