Selama ini dikenal adanya 4 tipe budaya organisasi. Misalnya Roger Harrison dan Charles Handy mengembangkan tipe budaya organisasi berdasarkan tingkat formalisasi dan sentralisasi sedangkan Terence E. Deal dan Allen A. Kennedy mengembangkan tipe budaya organisasi berdasarkan derajat risiko yang terkait dengan kegiatan organisasi. Pilihan terhadap tipe budaya yang akan dikembangkan di organisasi diperlukan pemahaman terhadap kondisi dan situasi yang sudah terbentuk dalam organisasi. Budaya organisasi yang sukses diterapkan di suatu organisasi, belum tentu sukses apabila diterapkan di organisasi lain (Uha, 2013).
Ada juga tipe budaya organisasi yang lain yaitu (1) konstruktif, (2) pasif-defensif, (3) agresif-defensif. Setiap tipe berhubungan dengan seperangkat keyakinan normatif yang berbeda. Keyakinan normatif mencerminkan pemikiran dan keyakinan individual mengenai bagaimana anggota dari kelompok atau organisasi tertentu diharapkan menjalankan tugasnya dan berinteraksi dengan orang lain. Ketiga tipe budaya organisasi itu adalah (Kreitner & Kinicki, 2000): (1) Budaya konstruktif adalah budaya dimana karyawan didorong untuk berinteraksi dengan orang lain dan mengerjakan tugas proyeknya dengan cara yang akan membantu mereka dalam memuaskan kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang. Tipe budaya ini mendukung keyakinan normatif yang berhubungan dengan pencapaian tujuan aktualisasi diri dan penghargaan yang manusiawi; (2) Budaya pasif-defensif bercirikan keyakinan yang memungkinkan bahwa karyawan beinteraksi dengan karyawan lain dengan cara yang tidak mengancam keamanannya sendiri. Budaya ini mendorong keyakinan normatif yang berhubungan dengan persetujuan, konvensional, ketergantungan, dan penghindaran; dan (3) Budaya agresif-defensif mendorong karyawannya untuk mengerjakan tugasnya dengan keras untuk melindungi keamanan kerja dan status mereka. Tipe budaya ini lebih bercirikan keyakinan normatif yang mencerminkan oposisi, kekuasaan.
Jenis budaya organisasi berdasarkan informasi (Tika, 2006) sebagai berikut: (1) Budaya rasional yaitu proses informasi individual (klarifikasi sasaran pertimbangan logika, perangkat pengarahan) yang diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kinerja yang ditunjukkan (efisien, produktivitas, dan keuntungan atau dampak); (2) Budaya ideology yaitu proses informasi intuitif (dari pengetahuan yang dalam, pendapat dan inovasi) yang diasumsikan sebagai sarana dan tujuan revitalisasi (dukungan dari luar, dukungan sumber daya dan pertumbuhan); (3) Budaya consensus yaitu proses informasi kolektif (diskusi, partisipasi, dan konsensus) yang diasumsikan sebagai sarana tujuan kohesi (iklim, moral, dan kerja sama kelompok); dan (4) Budaya hierarkis yaitu proses informasi formal (dokumen, komputasi, dan evaluasi) yang diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kesinambungan (stabilitas, kontrol, dan koordinasi).
Adapun tipe budaya organisasi berdasarkan tingkat formalisasi dan sentralisasi yaitu Handy (1978): (1) formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi; (2) formalisasi rendah, sentralisasi tinggi; (3) formalisasi tinggi, sentralisasi rendah; (4) formalisasi rendah, sentralisasi rendah.
Jenis budaya formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi yaitu memiliki ciri-ciri birokrasi yang tinggi, dikelola secara ilmiah dan memiliki disiplin tinggi. Semua pekerjaan sudah diatur secara sistematis melalui berbagai macam prosedur, bahkan kalau perlu dengan time and motion study yang cermat. Porsi pekerjaan seseorang sudah ditetapkan dan bersifat rutin. Hal ini dinamakan budaya Apollo yang diambil dari nama Dewa Yunani (Harisson, 1972).
Jenis budaya formalisasi rendah, sentralisasi tinggi yaitu bercirikan hubungan lisan yang kuat dan intuitif. Kekuasaan tertinggi ada di tangan satu orang atau sebuah kelompok dari pusat, seperti seekor laba-laba yang berada di tengah jaringnya. Jenis budaya ini dikenal dengan istilah Zeus atau budaya Kuasa.
Jenis formalisasi tinggi, sentralisasi rendah yaitu jenis budaya tugas atau matriks. Dalam budaya ini orang-orang terkumpul dari berbagai latar belakang ilmu dan keterampilan yang berbeda (interdisipliner) namun mereka terfokus pada tugas yang sama. Cara kerja masing-masing elemen ini sangat independen namun terikat oleh berbagai prosedur yang ketat. Jenis ini dinamakan sebagai budaya Athena (Handy, 1978).
Jenis budaya formalisasi rendah, sentralisasi rendah yaitu suasana afeksi, saling menghargai, dan keceriaan. Jenis budaya ini informal dan sangat desentralisasi. Anggotanya mempunyai tujuan atau kepentingan yang sama tetapi masih menikmati kebebasan individu yang tinggi. Jenis ini dinamakan budaya Dionysius yaitu nama Dewa Anggur (Handy, 1978).
Adanya empat jenis sistem kekuasaan dalam budaya organisasi yaitu budaya Apollo atau Peran, budaya Zeus atau Kuasa, budaya Athena atau Tugas, dan budaya Dionysisus atau Atomistis. Dalam budaya Apollo atau peran, kekuasaan ada di pihak pimpinan sehingga tanggung jawab bawahan hanyalah menjalankan tugas sesuai dengan perintah atasan. Demikian juga dengan budaya Zeus atau Kuasa, bawahan hanyalah kepanjangan tangan pimpinan sehingga kebijakan lebih ditentukan oleh pimpinan berdasarkan berbagai pertimbangan dan masukan dari bawahan. Budaya tersebut dikelompokkan ke dalam budaya formalisasi tinggi dan sentralisasi tinggi.
Dalam budaya Athena atau Tugas, setiap aktor diberi tanggung jawab sesuai dengan posisinya. Pimpinan bertugas mengoordinasi bawahan. Namun pimpinan level puncak tidak dapat menegur langsung pada buruh. Sesuai dengan struktur organisasi yang ada harus melalui pimpinan level menengah. Pimpinan ini menegur staf, dan staf menegur mandor. Terakhir mandor menegur buruh. Budaya Dionysius atau Atomistis memiliki kesamaan dengan budaya Athena atau Tugas, sebab setiap aktor memiliki tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Itulah sebabnya budaya tersebut dikelompokkan ke dalam budaya formalisasi rendah sentralisasi rendah.
Keempat jenis budaya organisasi tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan budaya Apollo atau Peran yaitu adanya kerapian dan keteraturan sehingga kesalahan yang bersifat fatal dapat dihindari. Kelemahan budaya Apollo atau Peran yaitu kurang fleksibel dan cepat untuk menghadapi tantangan baru sehingga kalah apabila dibandingkan dengan perusahaan yang menerapkan budaya Dionysius.
Organisasi yang menerapkan budaya Zeus atau Kuasa memiliki birokrasi yang kuat dan kemampuan melindungi organisasi dengan kukuh. Kelemahan penerapan budaya ini yaitu tidak adanya kehangatan dan keakraban antara pimpinan dengan bawahan, sebab semua masalah diselesaikan dengan pendekatan struktural.
Kekuatan penerapan budaya Athena atau Tugas yaitu adanya keterbukaan untuk berdialog dan berbeda pandangan apabila perlu. Kelemahan penerapan budaya ini yaitu kemungkinan timbul inkonsistensi dengan keputusan yang diambil dan tidak adanya stabilitas serta ketenangan kerja dalam kehidupan perusahaan tersebut. Kekuasaan budaya Dionysius dapat memelihara kehangatan dan kekeluargaan antara pihak pimpinan dengan bawahan. Kelemahan budaya ini apabila diterapkan yaitu adanya risiko yang besar dalam group think syndrom.
Oleh:
Nicholas Simarmata, S.Psi., M.A.
PUSTAKA
Handy, C. (1978). Understanding Organizations. New Edition. London: Penguin Books.
Harrison, R. (1972). Understanding Your Organization’s Character. Harvard Business Review. May/June. Hlm. 119-128.
Kreitner, R. & Kinicki, A. (2007). Organization Behavior. New York; McGraw-Hall Inc.
Tika, M.P. (2006). Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Bandung: Bumi Aksara.
Uha, I.N. (2013). Budaya Organisasi Kepemimpinan Dan Kinerja: Proses Terbentuk, Tumbuh Kembang, Dinamika Dan Kinerja Organisasi. Jakarta: Penerbit Kencana. ISBN: 978-602-7985-33-9.