Pendiri organisasi memiliki peran sebagai peletak dasar visi dan misi organisasi dengan kebijakan dan strategi tertentu melalui media lisan (pertemuan tatap muka, latihan, contoh langsung, dan percakapan tak resmi) dan media tulis (media komunikasi bulanan, brosur, dan pengumuman). Buruh merespons kebijakan yang dipilih oleh manajer organisasi dengan sikap dan tindakan. Ada 6 aspek yang dijadikan pusat perhatian para ahli yaitu (Uha, 2013): (1) konseptualisai Kotter & Heskett (1992) mengenai budaya organisasi yang dikatakan sebagai seperangkat nilai, norma, persepsi, dan pola perilaku yang diciptakan atau dikembangkan dalam organisasi; (2) Konseptualisasi Cheki (1996), Triono (1996), Snyder (1990) mengenai perekayasaan budaya organisasi; (3) Konseptualisai Umar Kayam dan Sjamsir Kadir mengenai budaya organisasi sebagai proses dialektika yang dinamis (4) Konseptualisasi Kayam (1996), Magnis-Suseno (1996), dan Cheki (1996) mengenai budaya organisasi sebagai refleksi budaya bangsa; dan (6) konseptualisasi Magnis-Suseno (1996) mengenai budaya organisasi sebagai pemerkuat organisasi dalam menghadapi tantangan.
Ada dualisme konsep mengenai budaya organisasi. Sejumlah pakar memandang dari kacamata budaya materiel dan beberapa pakar lain memandang dari kacamata kognitif. Pandangan budaya materiel bersumber dari konsep Koentjaraningrat. Pandangan kognitif bersumber dari konsep Goodenough (1999) yang di Indonesia dikembangkan Suparlan (1986). Budaya organisasi sendiri dikenal sebagai artefak, asumsi, dan nilai yang dihayati bersama-sama (Schein, 1992). Budaya organisasi adalah seperangkat nilai, norma, persepsi, dan pola perilaku yang diciptakan atau dikembangkan dalam organisasi untuk mengatasi berbagai masalah, baik masalah adaptasi secara eksternal maupun masalah integrasi secara internal (Kotter & Heskett, 1992). Budaya organisasi memiliki dimensi yang kasat mata yang dengan mudah dapat diidentifikasi sebagai perilaku umum dalam organisasi tersebut dan dimensi lain yang tidak kasat mata kecuali oleh anggota organisasi itu sendiri. Budaya organisasi yang kasat mata, seperti cara anggota organisasi melayani konsumennya, cara berpakaian karyawannya, cara mereka berkomunikasi antara atasan atau bawahan dan sesamanya, terletak pada sistem behaviorostik sistem nilai organisasi. Budaya organisasi yang tidak kasat mata adalah bagian yang paling sukar untuk diubah karena terletak pada sisi kognitif sistem nilai organisasi. Sisi budaya ini terdiri atas ide/gagasan anggota organisasi tentang lingkungannya, dan cenderung untuk lembam dari waktu ke waktu (Triono, 1996).
Budaya organisasi merupakan totalitas pola tingkah laku sosial, seni, keyakinan, kelembagaan, dan produk kerja, serta pemikiran manusia lainnya dari komunitas atau populasi tertentu. Pada tingkat lebih dalam dan tersamar, budaya merupakan nilai yang disumbang oleh seorang dalam kelompok dan cenderung bertahan untuk waktu yang cukup lama, meskipun anggota kelompoknya berubah. Pada tingkat yang lebih kentara, budaya menunjukkan pola atau gaya organisasi sehingga setiap karyawan baru didorong secara otomatis mengikutinya oleh teman sekerjanya (Kadir, 1996). Isi dasar kebudayaan adalah pengetahuan mengenai cara berperilaku sebagai satuan perilaku sosial yang memberikan konteks bagi pemunculan, pemeliharaan, dan organisasi tradisi sosial. Kebudayaan terdiri atas kriteria atau pemandu berbicara, melakukan sesuatu, menginterpretasi, dan mengevaluasi orang yang tinggal dan bekerja bersama yang telah dicapai bersama melalui interaksi satu dengan yang lain. Masyarakat merupakan kelompok manusia yang menganggap diri mereka senantiasa saling berinteraksi (Goodenough, 1999).
Maka kiranya sangat penting peran manusia dalam budaya organisasi. Sebab manusia merupakan bagian penting dari organisasi. Manusialah yang mendirikan dan menjalankan organisasi beserta seisinya. Manusia disini adalah mulai dari pimpinan, manajer, dan bawahan. Manusia pula yang membuat dan merawat budaya organisasinya. Sehingga antara manusia dan budaya organisasi merupakan hal konkret dan abstrak yang saling bersinergi untuk bisa mencapai sebuah tujuan.
Oleh:
Nicholas Simarmata, M.A.
Pustaka
Cheki, Y. (1996). Budaya Perusahaan Cina Sebuah Analisis Berdasarkan Model Kotter-Hesket. Manajemen Usahawan Indonesia. No. 07. Th.XXV. Hlm. 15-19.
Goodenough, W.H. (1999). Outline of a Framework for a Teory of Cultural Evolution. Cross-Cultural Research. Vol. 33. No. 1. Halaman 84-107.
Kadir, S. (1996). Faktor-faktor Pembentuk Budaya Perusahaan. Manajemen Usahawan Indonesia. No. 07. Th.XXV. Halaman 26.
Kayam, U. (1996). Kebudayaan dan Budaya Perusahaan. Manajemen Usahawan Indonesia. No. 07. Tahun XXV. Juli. Halaman 8-10.
Kotter, J.P. & Heskett, J.L. (1992). Corporate Culture and Performance. New York: Free Press.
Magnis-Suseno, F. (1996). Budaya dan Pengaruhnya Terhadap Budaya Perusahaan Indonesia. Manajemen Usahawan Indonesia. No. 07. Th.XXV. Hlm. 20-24.
Schein, E.H. (1992). Organizational Culture and Leadership. San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers.
Snyder, R.C. (1990). Meningkatkan Inovasi, Mengelola Budaya Perusahaan dalam Merencanakan Perubahan. Jakarta: Intermedia.
Suparlan, P. (1986). Masalah-masalah Sosial dan Ilmu Sosial dasar. Dalam A.W. Widajaja (Editor). Individu Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Akademika Pressindo.
Triono, R.A. (1996). Budaya Perusahaan dalam Proses Pengimplementasian Perencanaan Strstegis. Manajemen Usahawan Indonesia. No. 07. Th. XXV. Hlm. 12-14.
Uha, I.N. (2013). Budaya Organisasi Kepemimpinan dan Kinerja: Proses Terbentuk, Tumbuh Kembang, Dinamika, dan Kinerja Organisasi. Jakarta: Kencana. ISBN 978-602-7985-33-9.